..::Ge-Force - "Global economy, Free Trade, Organization, & Commitee Economy"::..--..::Plis read all info that I have 2 u. Thkz b4::..

Jumat, 12 Februari 2010

ACFTA, “HARAKIRI ala INDONESIA”


        Harakiri merupakan istilah yang lazim digunakan oleh bangsa jepang untuk menyebut peristiwa bunuh dirinya seseorang. Dan sepertinya Harakiri juga akan terjadi dengan perekonomian Indonesia seiring dengan dilaksanakannya ACFTA atau ASEAN-CHINA Free Trade Agreement awal tahun 2010 ini. Mulai 1 Januari 2010, Indonesia bersama lima negara ASEAN lainnya yaitu Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei harus membuka pasar dalam negeri mereka secara luas kepada sesama anggota ASEAN yang mengikuti ACFTA dan juga kepada negara China.
       Banyak pro-kontra yang muncul seiring dengan dilaksanakannya perjanjian ini. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan bahwa ACFTA ini bukan hanya sekedar serbuan produk China yang dipastikan akan membanjiri pasar dalam negeri tetapi justru memberikan manfaat bagi ekspor dan penanaman modal di Indonesia (Kompas, 5/1/2010). Hal serupa juga disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu. Anggito menyatakan bahwa proporsi perdagangan antara Indonesia, ASEAN, dan China hanya 20 % saja sehingga tak terlalu berpengaruh signifikan.
       Sementara pernyataan bernada kontra disampaikan Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G.Ismy. Ernovian berpendapat bahwa dengan masuknya barang-barang impor dari China yang mempunyai harga yang lebih murah dan kualitas yang tidak kalah akan berdampak pada industri dalam negeri. Menurutnya akan banyak industri nasional dan lokal yang akan gulung tikar dan akan banyak pengusaha yang mengelola industri berpindah menjadi Eksportir barang-barang dari China. (Republika, 4/10/2010). Mantan Dirjen Bea Cukai, Anwar Surijadi, juga mempertanyakan manfaat pemberlakuan perdagangan bebas ini bagi masyarakat. (Republika, 4/1/2010).
            Bahkan kekhawatiran dari diadakannya perjanjian ini juga muncul dari Menteri Perindustrian MS Hidayat yang notabene bagian dari pemerintah. Menurut MS Hidayat dalam kerangka ACFTA yang berlatar belakang semangat bisnis, China bisa berbuat apa saja untuk mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas Indonesia. (Bisnis Indonesia 9/1/2010). Kekhawatiran serupa juga telah diungkapkan sebagian masyarakat di beberapa daerah. Beberapa dari mereka mendesak kepada DPRD di daerah mereka untuk melindungi produk mereka, seperti yang dilakukan oleh komunitas UMKM di Yogyakarta. Tak hanya pengusaha industri kecil saja yang merasa khawatir dengan diadakannya perjanjian ini, Para petani di bagian Indonesia timur juga mengeluh dan mengkhawatirkan dampak matinya produksi beras mereka.(Antara, 11/1/2010)
       Seperti kita ketahui bersama beberapa tahun belakangan sangat banyak barang-barang yang ada di sekitar kita yang berlabelkan Made in China bahkan sebelum perjanjian ini dilaksanakan. Maka tak ayal bahwa serbuan produk China menyambut ACFTA akan seperti ”Tsunami” bagi pasar dalam negeri. Membanjirnya produk China di pasar dalam negeri akan menyebabkan kehancuran beberapa industri yang memproduksi produk yang sejenis yang akhirnya banyak industri lokal akan gulung tikar. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008 dan diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan akan mengalami penurunan mencapai US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (Industri Kecil Menengah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp. 1 miliar hingga Rp. 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk China. (Bisnis Indonesia, 9/1/2010)
       Selain itu ACFTA dirasa kurang tepat dilaksanakan pada tahun 2010 ini. Jika kita menilik data pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke China sejak 2004-2008, terlihat bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia hanya sekitar 24.95 %, sementara tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia mencapai 35.09 %. Dari data tersebut terlihat jelas ketimpangan antara kedua negara. China yang saat ini mempunyai SDM yang melimpah dan bagus akan semakin meningkatkan tren pertumbuhan ekspor non-migas mereka di Indonesia, sementara Indonesia yang masih belum siap dengan SDM yang berkualitas akan terus bergantung kepada ekspor migas. Justru pola seperti itu sangat disukai oleh pihak China seiring dengan usaha mereka mengembangkan perindustrian yang membutuhkan banyak bahan mentah. Maka tak ayal jika pernyataan Bung Karno beberapa tahun yang lalu bahwa penjajahan modern yang akan terjadi di masa yang akan datang adalah penjajahan ekonomi, akan benar terjadi dan tanpa disadari secara perlahan tapi pasti kita memasuki jurang itu.
       Dari semua dampak negatif yang sudah dikemukakan di atas, sudah sepantasnya kita mengatakan bahwa ACFTA layaknya ”Harakiri ala Indonesia” yang akan membawa negara ini kepada sebuah masa penjajahan modern, yaitu penjajahan ekonomi.

Created By : Dhimas Handhi Putranto
Edited by: Karsono Puguh Nindyo Cipto
            SMASA JEMBER

0 komentar:

ACFTA, “HARAKIRI ala INDONESIA”

| |


        Harakiri merupakan istilah yang lazim digunakan oleh bangsa jepang untuk menyebut peristiwa bunuh dirinya seseorang. Dan sepertinya Harakiri juga akan terjadi dengan perekonomian Indonesia seiring dengan dilaksanakannya ACFTA atau ASEAN-CHINA Free Trade Agreement awal tahun 2010 ini. Mulai 1 Januari 2010, Indonesia bersama lima negara ASEAN lainnya yaitu Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei harus membuka pasar dalam negeri mereka secara luas kepada sesama anggota ASEAN yang mengikuti ACFTA dan juga kepada negara China.
       Banyak pro-kontra yang muncul seiring dengan dilaksanakannya perjanjian ini. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan bahwa ACFTA ini bukan hanya sekedar serbuan produk China yang dipastikan akan membanjiri pasar dalam negeri tetapi justru memberikan manfaat bagi ekspor dan penanaman modal di Indonesia (Kompas, 5/1/2010). Hal serupa juga disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu. Anggito menyatakan bahwa proporsi perdagangan antara Indonesia, ASEAN, dan China hanya 20 % saja sehingga tak terlalu berpengaruh signifikan.
       Sementara pernyataan bernada kontra disampaikan Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G.Ismy. Ernovian berpendapat bahwa dengan masuknya barang-barang impor dari China yang mempunyai harga yang lebih murah dan kualitas yang tidak kalah akan berdampak pada industri dalam negeri. Menurutnya akan banyak industri nasional dan lokal yang akan gulung tikar dan akan banyak pengusaha yang mengelola industri berpindah menjadi Eksportir barang-barang dari China. (Republika, 4/10/2010). Mantan Dirjen Bea Cukai, Anwar Surijadi, juga mempertanyakan manfaat pemberlakuan perdagangan bebas ini bagi masyarakat. (Republika, 4/1/2010).
            Bahkan kekhawatiran dari diadakannya perjanjian ini juga muncul dari Menteri Perindustrian MS Hidayat yang notabene bagian dari pemerintah. Menurut MS Hidayat dalam kerangka ACFTA yang berlatar belakang semangat bisnis, China bisa berbuat apa saja untuk mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas Indonesia. (Bisnis Indonesia 9/1/2010). Kekhawatiran serupa juga telah diungkapkan sebagian masyarakat di beberapa daerah. Beberapa dari mereka mendesak kepada DPRD di daerah mereka untuk melindungi produk mereka, seperti yang dilakukan oleh komunitas UMKM di Yogyakarta. Tak hanya pengusaha industri kecil saja yang merasa khawatir dengan diadakannya perjanjian ini, Para petani di bagian Indonesia timur juga mengeluh dan mengkhawatirkan dampak matinya produksi beras mereka.(Antara, 11/1/2010)
       Seperti kita ketahui bersama beberapa tahun belakangan sangat banyak barang-barang yang ada di sekitar kita yang berlabelkan Made in China bahkan sebelum perjanjian ini dilaksanakan. Maka tak ayal bahwa serbuan produk China menyambut ACFTA akan seperti ”Tsunami” bagi pasar dalam negeri. Membanjirnya produk China di pasar dalam negeri akan menyebabkan kehancuran beberapa industri yang memproduksi produk yang sejenis yang akhirnya banyak industri lokal akan gulung tikar. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008 dan diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan akan mengalami penurunan mencapai US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (Industri Kecil Menengah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp. 1 miliar hingga Rp. 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk China. (Bisnis Indonesia, 9/1/2010)
       Selain itu ACFTA dirasa kurang tepat dilaksanakan pada tahun 2010 ini. Jika kita menilik data pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke China sejak 2004-2008, terlihat bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia hanya sekitar 24.95 %, sementara tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia mencapai 35.09 %. Dari data tersebut terlihat jelas ketimpangan antara kedua negara. China yang saat ini mempunyai SDM yang melimpah dan bagus akan semakin meningkatkan tren pertumbuhan ekspor non-migas mereka di Indonesia, sementara Indonesia yang masih belum siap dengan SDM yang berkualitas akan terus bergantung kepada ekspor migas. Justru pola seperti itu sangat disukai oleh pihak China seiring dengan usaha mereka mengembangkan perindustrian yang membutuhkan banyak bahan mentah. Maka tak ayal jika pernyataan Bung Karno beberapa tahun yang lalu bahwa penjajahan modern yang akan terjadi di masa yang akan datang adalah penjajahan ekonomi, akan benar terjadi dan tanpa disadari secara perlahan tapi pasti kita memasuki jurang itu.
       Dari semua dampak negatif yang sudah dikemukakan di atas, sudah sepantasnya kita mengatakan bahwa ACFTA layaknya ”Harakiri ala Indonesia” yang akan membawa negara ini kepada sebuah masa penjajahan modern, yaitu penjajahan ekonomi.

Created By : Dhimas Handhi Putranto
Edited by: Karsono Puguh Nindyo Cipto
            SMASA JEMBER

0 komentar:

Posting Komentar